Aku ingin seperti hutan. Ia teduh, tadah untuk segala yang tak sudi sudah diseduh sedih itu. Aku ingin menjadi sepertinya, meneduhkan bayang-bayangmu yang sedari tadi lejar dan payah. Hutan yang rimba, adalah kesetiaan. Luas dan sukar ditakar. Namun seisi hatimu pohon-pohon tumbang, muskil ditumbuhi bebunga mawar.
.
Kenangan membawaku terbang menempuh hari-hari jauh. Hutan yang rimba, taman di tengah-tengah kota, restoran, dan pasar-pasar buah. Hari yang gigil; waktu memberat seperti seorang yang mengenakan mantel bulu.
Aku berharap hari-hari adalah semoga yang lekas sembuh, segala yang memilih usai sebelum hendak dimulai. Aku juga ingin tubuhku tetap utuh, sebab ibuku sering menemuiku tiba-tiba. Aku tak ingin ia bersedih, atau ia akan bersedia mengutuk wanita yang paling aku cintai.
.
Aku tumbuh dan dadaku adalah hutan yang lebat dan tak luput melibatkan kau. Segala yang yang kutampung adalah perihal tampang baik dan burukmu. Borok yang sibuk kau lunasi dengan buru-buru.
Aku tak ingin mencintaimu menjelma laut, ia dingin dan selalu ingin menenggelamkan matamu. Sedang matamu adalah muasal surga, muara puisi-puisi cinta. Aku hanya ingin mencintaimu dan menjadi hutan. Tunas-tunas yang akan tumbuh dan bercabang-cabang, berkejaran dan berlarian. Alangkah teduh! Alangkah indah! Lalu tiba-tiba di rimbun matamu, mengalir sebuah sungai yang berkejaran mencari muara.
Jember, 26 November 2018
((Terimakasih untuk puisi kesekian kalinya, sukrosa.♥️))