Selasa, 05 September 2017

Sajak tak Bertuan



Kau bilang bahwa aku seperti hujan yang dirindukan? Lalu kenapa ketika aku berlabuh, kau malah pergi menghindar mencari tempat lain untuk berteduh?

Kau bilang bahwa aku seperti pagi yang menyemangati? Lalu kenapa saat aku singgah, kau lebih memilih untuk berselimut dan melanjutkan mimpi hingga habis waktuku menanti?

Sudahlah, tak perlu kau bilang apapun lagi. Aku mulai paham, hatimu bukan lagi rumah yang aku kenali. Aku mulai mengerti, caramu ini hanya dalih agar aku membenci. Padahal kau tak menyadari, aku punya cara tersendiri untuk bertahan hingga waktunya pergi.

Kau tahu, menuliskanmu adalah cara termanis untuk membalas tanpa menyakiti. Karena di penghujung rima, kau hanya akan tetap di sana, menikmati pedihnya tanpa bisa berlari.

Kau tahu, mendoakanmu adalah cara terindah untuk memeluk tanpa takut kau pergi. Karena di penghujung kata, selalu ada kelegaan luar biasa yang tak pernah gagal mengobati hati.

Tapi kau juga perlu tahu, melupakanmu adalah cara tersulit yang kini tengah aku pelajari. Mungkin nanti aku mengerti, ketika aku bukan lagi menjadi alasan senyummu terukir kembali. Biarkan Tuhan dan semesta yang memberiku jalan indah tersendiri.

Menyelamatkan tawa

Setiap kita memiliki warna bahagia yang berbeda-beda. Bersumber oleh apa, berpegang pada siapa, bertuju kemana, bukanlah hal yang penting sebenarnya.

Yang utama adalah ketika bersama, kita hanya perlu menyamakan rasa agar saling seirama.

Yang terpenting adalah ketika bersama, kita hanya perlu menyelaraskan tawa untuk saling bertukar bahagia.

Karena saat kau mendengar tawaku, aku tau kau akan merasakan sedalam apa aku berbahagia. Karena saat kau melihat senyumku, kau akan menyadari bahwa aku tengah berada di titik terdalam bahagia, yang tak mampu tergambar oleh gelak maupun tawa.

Brjalan lebih jauh

Aku mulai mengerti bahwa mimpi itu ternyata rapuh. Ia bisa retak meski hanya karena tatapan sinis dari mereka. Ia pun bisa hancur oleh tertawaan dan olokan orang-orang dari sisi yang berbeda.

Padahal sebenarnya mereka tertawa karena mereka tak paham, kebanyakan yang tak menghargai adalah mereka yang tak mengerti. Yang jelas, mereka bahkan takkan mampu untuk sekedar menyamai.

Ah, tak bermaksud untuk meninggi. Hanya ingin menertawakan balik mereka untuk hal kecil yang mereka tak mengerti. Sungguh, hanya ingin tertawa sebentar, lalu melangkah pergi.

Karena aku hanya perlu berjalan lebih jauh dan melangkah lebih pasti tanpa perlu berhenti lagi. Sebab nyatanya aku beruntung, aku dikelilingi oleh lingkungan yang mendukung. Oleh kalian yang membuat langkah ini tak menepi, meski tak tahu kapan akan berujung.

Aku pun mulai menikmati tiap hentakan yang terjejaki, pada sebuah euforia tanpa henti, tanpa melupakan syukur kepada Sang Pemilik Hati.

Namun pada akhirnya, terimakasihku tetap untuk dua sisi. Untuk dukungan kalian yang membuatku kuat, dan untuk tertawaan mereka yang membuat langkahku semakin cepat. Terimakasih, kalian dan mereka sungguh hebat. :)

Percayalah.


Kita terjerembab pada sudut terdalam sebuah tanya yang tak berkesudahan. Mencoba mengerti atas sakit yang bertubi menghampiri. Sepertinya, ada yang salah dari semua ini. Tapi apa?

Kita rasa semua seharusnya baik-baik saja. Kita telah meletakkan semua pada tempatnya. Lalu, apa? Mengapa harus kembali jatuh dalam luka yang begitu menganga?

Ah, ada hal yang kita lupa. Tentang pengharapan yang kita taruh tinggi namun bukan kepadaNya. Tentang penyemogaan yang kita junjung sepenuh hati namun melupakan batas olehNya. Tentang semua, tanpa kita ikut menyertakanNya.

Itulah mengapa, ketika kita berharap terlalu tinggi kepada yang lain, Dia jatuhkan pada kita pedihnya sebuah pengharapan, agar kita kembali berharap hanya kepadaNya. Agar tiap langkah kita tetap menyertakanNya. Karena sesungguhnya Dia Maha Pencemburu atas hambaNya.

Namun bersyukurlah, jika Sang Pemilik Semesta masih cemburu kepada kita. Karena cemburuNya berarti cinta, dan abaiNya adalah malapetaka.